Ahmad Nurwakhid: Karena Terpapar Paham Radikal

bnpt

Liputan6.com, Jakarta Siapa sangka seorang perwira polisi yang terpapar paham radikalisme kariernya bisa tetap melesat hingga ke tangga perwira tinggi. Bahkan, Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Nurwakhid saat ini menempati posisi sebagai Direktur Deradikalisasi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Brigjen Ahmad Nurwakhid?

Sebagai seorang calon perwira polisi, Ahmad merupakan sosok berprestasi saat masih menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol). Dia pernah menjabat Komandan Peleton Taruna Akpol yang kemudian dipercaya menjadi Komandan Peleton Candradimuka di Magelang. Lulus dari Akpol pada 1989, kehidupan Ahmad sebagai polisi muda mulai berubah.

Pada akhir 1994, saat menyandang pangkat kapten (sekarang ajun komisaris polisi) dan menjabat Kapolsek Banjarsari di Solo, Jawa Tengah, Ahmad mulai kerap bertemu dengan uztaz-uztaz berpaham radikal yang ada di Pesantren Pondok Al Mukmin Ngruki. Tak hanya bertemu, dia pun memutuskan untuk mondok di pesantren yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir itu, meski secara informal.

Tidak saja mendidik murid atau santri dengan ilmu agama, mereka juga diberi kekuatan fisik berupa latihan semi militer. Ahmad juga sempat berniat untuk pergi ke Afganistan karena dinilai sebagai ladang jihad yang paling potensial. Tanpa sadar, ketika itu dia sudah masuk ke dalam jaringan Jamaah Islamiyah.

Karena kesibukan di luar dinas itu Ahmad kerap tidak masuk kantor dan meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Akhirnya dia dipindah ke Polda Jawa Tengah, meskipun hal itu tidak mengubah kebiasaan Ahmad karena dia masih sering melakukan perjalanan ke Tawangmangu dan Solo untuk mengikuti berbagai kajian dan cuci otak ala teroris.

Karena terus-terusan mangkir dari tugas, Ahmad akhirnya menjalani sidang disiplin dengan dakwaan dugaan indisipliner, bukan karena terlibat jaringan teroris. Maklum saja, ketika itu pemerintah belum familiar dengan istilah radikalisme-terorisme dan belum ada undang-undang yang khusus mengatur hal ini.

Ahmad mengakui, seandainya saat itu telah terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bisa dipastikan dia sudah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror. Ditambah lagi pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang terorisme baru muncul ketika terjadi peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002.